Tuesday, February 5, 2008

MEMISAHKAN MUHAMMADIYAH DARI POLITIK: AHISTORIS

TULISAN ini, mencoba memberikan beberapa catatan kritis dan pandangan terhadap persepsi yang salah dalam memahami lahirnya Partai Matahari Bangsa. Disamping itu, menjelaskan latarbelakang lahirnya PMB dan kaitan dengan Muhammadiyah, yang selama ini disalah artikan sebagian kelompok warga Muhammadiyah.
Muhammadiyah dan Politik

Doktrin bahwa Islam adalah agama dan negara (al-din wa al-dawlah) merupakan mainstream di kalangan umat Islam. Artinya, dalam Islam, agama dan negara adalah sebuah entitas yang satu yang tidak bisa dipisahkan. Doktrin ini rasanya tidak berlebihan bila berkaca pada tarih Islam, baik pada masa Nabi maupun pasca hingga tumbangnya kekuasaan Khilafah Utsmaniyah di Turki 1924, yang kesemuanya menggambarkan begitu lekatnya relasi Islam dan Politik. Kalau kita membaca Shirah Nabawiyah misalnya, isinya didominasi relasi Islam dan Politik. Begitu pula kalau kita mengkaji sejarah Khulafaul Rasyiddin, Daulah Umayyah (Damaskus 661–750 dan Andalusia 750–1492), Daulah Abbasyiyah (Baghdad 750-1258), Daulah Fatimiyyah (Mesir 909–1171), Dulah Utsmaniyyah (Turki 1299–1924) kesemuanya menggambarkan dominasi relasi Islam dan negara.


Doktrin ini juga mendominasi pola pikir kebanyakan umat Islam di Indoensia, termasuk di lingkungan Muhammadiyah. Karenanya tidak mengherankan, meskipun statusnya sebagai ormas keagamaan (jam’iyah diniyah islamiyah), sepanjang sejarahnya Muhammadiyah justru banyak bersinggungan dengan politik praktis. Bahkan setiap moment politik Muhammadiyah senantiasa terlibat di dalamnya.

Kedekatan KH. Ahmad Dahlan (Kiai Dahlan) dengan Budi Utomo dan PSII boleh diakatakan sebagai titik awal Muhammadiyah bersinggungan dengan politik. Hanya saja yang membedakan, politik Muhammadiyah era Kiyai Dahlan jalinan relasinya –sekalipun dengan PSII– tidak diartikan sebagai “relasi politik kekuasaan”, tapi sebatas “relasi etis”.

Pada era berikutnya, tepatnya ketika dikomandoi KH. Mas Manshur, wajah politik Muhammadiyah bahkan begitu dominan. KH. Mas Manshur misalnya menjadi penggagas berdirinya Partai Islam Indonesia (PII), menjadi salah satu penggagas lahirnya Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Pasca tumbangnya Orde Lama dan ketika tuntutan rehabilitasi Masyumi tidak dikabulkan oleh Orde Baru, Muhammadiyah juga menjadi penggagas lahirnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Bahkan untuk menopang keberlangsungan Parmusi, Muhammadiyah sampai mengeluarkan Khittah Ponorogo 1969. Ketika Parmusi dirasa tiak lagi bisa dikonrol, Muhammadiyah pun sempat mengeluarkan Khittah Ujung Pandang 1971 secara implisit masih memberikan dukungan pada Parmusi.

Baru ketika Orde Baru secara ideologis tampil semakin hegemonic, Muhammadiyah melalui Khittah Surabaya 1978 mengambil posisi politik netral. Sikap ini diambil semata karena melihat realitas mulai dominannya peran dan kuasa Negara serta kuatnya upaya melakukan depolitisasi partai politik. Mungkin akan lain sikap politik yang diambil Muhammadiyah andaikan saat itu iklim politiknya kondusif dan demokratis. Hal ini setidaknya terbukti selepas tumbangnya Orde Baru, Muhammadiyah secara latah ikut “membidani” lahirnya PAN. Bahkan untuk suksesnya PAN, bukan hanya warga Muhammadiyah, amal usaha pun dijadikan sebagai basis dukungan politik. Dan untuk konteks saat itu, sikap mesrah Muhammadiyah dengan PAN dinilai sebagai hal yang wajar dan bisa dipermaklum!

Namun ketika PAN dinilai tidak membawa maslahah bagi kepentingan politik dan dakwah Muhammadiyah, melalui Khittah Denpasar 2002 Muhammadiyah kembali menegaskan sikap netral politiknya.

Genap dua tahun, melalui Tanwir Mataram 2004, Muhammadiyah mengeluarkan rumusan politik yang cenderung berlawanan dengan Khittah Denpasar yang memberikan semacam “lampu hijau” kepada AMM untuk mengkaji kemungkinan berdirnya partai politik baru. Keluarnya rumusan Tanwir Mataram ini sebenarnya bisa ditafsiri sebagai bentuk penguatan atas realitas sejarah relasi Muhammadiyah dan politik. Keputusan Tanwir tersebut kemudian disikapi dan ditafsiri secara kritis oleh eksponen AMM dengan mendirikan PMB.

Bila berkaca pada rentetan sejarah di atas, tampak jelas bagaimana relasi Muhammadiyah dengan politik. Karenanya, pemikiran yang mencoba menjauhkan atau bahkan memisahkan Muhammadiyah dari politik (meski dalam arti kekuasaan sekalipun) –sebagaimana terepresentasikan oleh tulisan Saudara Boy, dapat dikatakan sebagai sikap ahistoris.

Varian Sikap Politik Warga Muhammadiyah

Menilik relasi Muhammadiyah dan politik yang demikian, maka tidak heran kalau dalam tubuh Muhammadiyah muncul beragam sikap politik. Setidaknya ada empat varian sikap politik yang barangkali bisa menggambarkan secara utuh wajah politik warga Muhammadiyah.

Pertama, varian politik. Kelompok ini menghendaki agar warga Muhammadiyah mempunyai wadah politik tersendiri. Kehendak membuat wadah politik ini tidak sampai pada upaya untuk menyeret Muhammadiyah secara institusional. Dalam pandangan kelompok ini, warga Muhammadiyah sudah saatnya mempunyai amal usaha politik tersendiri. Kepentingannya tentu saja bukan sekedar “berebut kekuasaan” –sebagaimana lazimnya partai politik, tapi juga sebagai penopang dakwah Muhammadiyah. Selama ini, dalam relasinya dengan politik, warga Muhammadiyah baru sebatas “membidani” lahirnya partai politik, tapi belum pernah “melahirkan”, “mengasuh” dan “membesarkan” sendiri partai politik. Karenanya menurut kelompok ini, perlu dicoba upaya pendirian parai politik baru yang benar-benar “dikelola” oleh warga Muhammadiyah.

Kedua, varian politis-organisatoris. Kelompok ini tidak menghendaki Muhammadiyah diseret secara institusional ke wilayah politik paktis. Namun, karena menyadari pentingnya partai politik, kelompok ini mencoba secara aktif menjalin relasi dan kedekatan dengan semua partai politik. Kelompok ini menghendaki Muhammadiyah secara aktif mendistribusikan kader politiknya ke semua partai politik yang ada.

Ketiga, varian organisatoris. Kelompok ini menghendaki agar Muhammadiyah secara organisatoris istiqomah sebagai ormas keagamaan dan tidak ikut cawe-cawe pada persoalan politik (dalam arti kekuasaan). Kelompok ini bahkan secara ekstrim menghendaki agar selain Muhammadiyah, semua pengurus harian ortom juga tidak terlibat aktif di kepengurusan partai politik. Andaikan gagasan ini “hanya” diterapkan pada level Muhammadiyah –dan mungkin Aisyiyah– cukup bisa dipahami. Tapi kalau gagasan tersebut juga berlaku bagi ortom rasanya berlebihan. Letak berlebihannya, secara normatif berpolitik dalam kaca mata Islam adalah fardhu kifayah (fakultatif). Artinya di lingkungan Muhammadiyah pun semestinya ada warganya yang terlibat aktif di dalamnya. Sementara secara praktis, partai politik yang ada tentu hanya mau menjalin bargaining dengan pengurus harian dan bukan dengan anggota departemen.

Keempat, varian organisatoris-politis. Dengan dalih Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan, kelompok ini mencoba mendudukan Muhammadiyah pada maqam-nya dan tidak mencoba menyeretnya pada kubangan politik praktis. Hanya saja karena kedekatan dan ikatan emosional kelompok ini dengan partai yang sebelumnya dibelanya menjadikannya tidak sebenuhnya istiqamah. Artinya, mereka masih juga menampakkan wajah politisnya, meskipun tidak terlalu mencolok. Karena sikapnya yang demikian, kelompok ini cenderung alergi dengan partai politik lain di luar bekas partainya, termasuk partai politik baru seperti PMB.

PMB sebuah Sintesis?

Dalam tulisannya, Saudara Boy menyatakan bahwa pada mulanya warga Muhammadiyah sangat berharap PAN bisa menjadi penyalur aspirasi dan aggregator kepentingan politik Muhammadiyah, namun kemudian timbul kekecewaan mendalam, maka sebagai perwujudan kekecewaan tersebut, pada Pemilu 2004 sebagian warga Muhammadiyah –yang sebelumnya mendukung PAN –mengalihkan dukungannya ke PKS. Sekarang, terlebih selepas munculnya “ketegangan” antara warga Muhammadiyah dengan PKS –sebagaimana diungkap beberapa kali oleh Suara Muhammadiyah, timbul juga rasa kecewa warga Muhammadiyah terhadap PKS. Bahkan kekecewaa yang timbul begitu mendalam.

Sebagai sebuah dialektika (meminjam istilah Hegel) dan juga sebagai upaya penguatan demokratisasi di Indonesia, kenapa kehadiran PMB tidak mencoba diapresiasi?

Sebagai dialektika, kehadiran partai politik baru seperti PMB adalah hal yang lazim. Apalagi dalam konteks demokrasi. Sebab bisa jadi kehadiran partai politik baru merupakan antitesis atau bahkan sintesis atas partai-partai politik yang ada yang dinilai tidak atau belum mampu menjalankan fungsi-fungsi politiknya dengan baik.

Bila menjadikan tulisan Saudara Boy sebagai pijakan, maka PMB sebenarnya bisa menjadi semacam sintesis politik bagi warga Muhammadiyah. Awalnya warga Muhammadiyah berharap sekali PAN bisa menjadi menyalur aspirasi politik warga Muhammadiyah, namun pada akhirnya PAN tampil mengecewakan. Anggaplah hal ini sebagai tesis. Akibat kekecewaan tersebut, sebagian warga Muhammadiyah menjatuhkan pilihan kepada PKS. Namun lagi-lagi warga Muhammadiyah juga mengalami kekecewaan. Anggaplah ini sebagai antitesis.

Nah, dengan kenyataan ini, PMB rasanya tepat dijadikan sebagai sintesis bagi warga Muhammadiyah. Hal ini setidaknya karena beberapa alasan. Pertama, PAN memang kelahirannya dibidani oleh warga Muhammadiyah, bahkan nahkoda yang pertama dipegang oleh Amien Rais, namun disayangkan kelamin asas partai ini tidak jelas. Sehingga rasanya sulit diharapkan untuk bisa memperjuangkan kepentingan dakwah Muhammadiyah. Kedua, PKS kelahirannya dibidani oleh komnitas kampus yang didalamnya juga terdapat warga Muhammadiyah dan berasaskan Islam. Namun selain memposisikan diri sebagai partai politik, PKS juga memposisikan sebagai organisasi dakwah, sehingga realitas di lapangan cenderung bertabrakan dengan Muhammadiyah. Ketiga, sementara PMB selain berasaskan Islam, juga didirikan oleh eksponen AMM yang irisan kekaderannya sangat jelas, karena mereka yang tergabung di PMB mayoritas adalah elit dan mantan elit ortom di lingkungan Muhammadiyah.


MA'MUN MUROD AL-BARBASYI
Penulis adalah Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, aktif Central for Moderate Moslem (CMM) dan Ketua PP. Pemuda Muhammadiyah.





Edited : E-Sms


No comments: